Laman

orang pintar lagi maen komputer

orang pintar lagi maen komputer
sukses

Sabtu, 24 Maret 2012

WAWASAN NUSANTARA (MASYARAKAT INDONESIA)

TULISAN 4 
WAWASAN NUSANTARA 2

1.Pendahuluan
Tylla Subijantoro, mahasiswi S-2 ilmu hukum Universitas New Delhi, India, tiba-tiba mencuri perhatian. Pertanyaannya kepada Presiden Yudhoyono saat kunjungan ke India konon membuat beliau marah. Pasalnya dia membanding-bandingkan keadaan di Indonesia saat ini dengan keadaan dan kemajuan yang dicapai negara lain. (Gatra No. 6/Senin, 19 Desember 2005. Berkaitan dengan hal itu Presiden menegaskan bahwa warga negara Indonesia perlu untuk belajar menghargai bangsa sendiri.

Bila kita coba renungkan, penegasan Presiden RI tentang perlunya kita membanggakan karya bangsa sendiri tampaknya masih sulit untuk dipahami. Apakah yang dimaksud adalah kita coba menggali nilai-nilai luhur yang pernah ada atau mencari konsep kebangsaan yang sudah dianggap usang?

Dalam tataran praktis, rasanya sulit untuk tidak mendebat pandangan Presiden tersebut. Dengan kemudahan mendapatkan informasi tentang perkembangan negara lain, buruknya keadaan Indonesia di segala bidang merupakan fakta yang telah berbicara apa adanya.

Globalisasi yang identik dengan pasar terbuka (open market) dan semangat persaingan (competition) membuat Indonesia yang masih dalam transisi demokrasi kehilangan jati dirinya. Katup-katup pengaman sosial tampaknya tidak bekerja dengan baik karena memang tidak mudah untuk mengelola perubahan yang sangat cepat. Itulah salah satu karakteristik dari revolusi teknologi informasi.
Secara normatif, himbauan Presiden tersebut adalah ungkapan keprihatinan akan kemunduran rasa kebangsaan akibat kegagalan rejim Orde Baru dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.

Lalu timbul pertanyaan, apakah yang harus dilakukan untuk mematuhi himbauan pemimpin negara tersebut? Masih bisakah kita mengangkat nilai-nilai luhur yang selama masa Orde Baru disakralkan dan akhirnya kita campakkan begitu saja karena telah diselewengkan?
Masih dapatkah kita berdamai dengan masa lalu dan secara jernih melihat persoalan bahwa yang menjadi penyebab terpuruknya bangsa Indonesia sebenarnya adalah pemimpinnya sendiri yang memanipulasi norma atau nilai-nilai yang ada untuk kepentingannya atau kelompoknya? Masih dapatkah kita menggali nilai-nilai luhur bangsa yang bisa kita jadikan pegangan untuk membangun Indonesia?

Tulisan ini mencoba melakukan refleksi tentang himbauan Presiden tersebut dengan mengambil satu gagasan besar founding fatheryaitu konsepsi Wawasan Nusantara.

Penulis berargumen bahwa konsepsi Wawasan Nusantara masih relevan untuk membangun nasionalisme bangsa untuk berhadapan dengan masyarakat dunia. Bila sederet pertanyaan diatas dielaborasi, akan terlihat bahwa nilai-nilai kebangsaan yang pernah mendominasi wacana kehidupan masyarakat Indonesia sejatinya masih dapat diwacanakan.

2. Wawasan Nusantara dan jati diri bangsa Indonesia

Perdana Menteri Djuanda pada tanggal 13 Desember tahun 1957 melalui sautu deklarasi memperkenalkan konsep Wawasan Nusantara, yang menetapkan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan.

Selanjutnya, melalui konsep yang dikenal dengan sebutan Deklarasi Juanda, ide "negara kepulauan" mendapatkan pengakuan internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nation Convention on Law of the Sea) memasukkan konsep archipelagic state sebagai konsep hukum internasional (Brownlie, 1995). Hal ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perjuangan Indonesia dalam menjadikan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai perwujudan dari negara kepulauan Indonesia.

Perjuangan Perdana Menteri Djuanda ini, dilanjutkan oleh Menteri Luar Mochtar Kusumaatmadja yang mampu mengartikulasikan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai prinsip-prinsip dasar yang dapat mempersatukan Negara RI. Melalui konsepsi Wawasan Nusantara ini, pamor Indonesia meningkat karena konsepsi ini merupakan salah satu terobosan penting khususnya dalam hukum internasional.

Sebagaimana diketahui, Indonesia memperjuangkan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai argumen untuk mempersatukan pulau-pulau yang tersebar dari ujung Sumatera sampai Irian Jaya (Papua).

Hanya dengan konsep penetapan batas laut wilayah sejauh 12 mil saja akan membuat adanya bagian laut bebas didalam pulau-pulau Indonesia yang dapat diinterpretasikan sebagai laut bebas.

Dengan konsepsi negara kepulauan maka kelemahan itu berhasil ditutupi. Semua laut dalam di antara pulau-pulau atau di tengah kepulauan Indonesia sudah tidak dihitung lagi sebagai laut internasional, tetapi sebagai laut pedalaman yang termasuk sebagai kawasan laut territorial dari suatu negara kepulauan.

Konsepsi politik kewilayahan ini dimulai dengan UU. No. 4/Prp/1960 yang dalam Konferensi Hukum Laut III terus diperjuangkan dan berujung pada penerimaan UNCLOS 1982 pada 10 Desember 1982.

Pemerintah Indonesia sendiri tak perlu menunggu waktu yang terlalu lama untuk meratifikasi Konvensi tersebut melalui UU No. 17 tahun 1984. Disamping itu 
mengenai garis batas Indonesia, baik laut wilayah, landas kontinen, maupun zona ekonomi eksklusif juga telah dapat diselesaikan pada era Menlu Mochtar Kusumaatmadja.

Lebih kurang sejak tahun 1969 sampai tahun 1982 ada sekitar 18 persetujuan menyangkut batas dengan negara lain berhasil ditandatangani.

Apabila kita hendak bernostalgia, Wawasan Nusantara sebagai suatu tatanan nilai pemersatu bangsa, lahir sejalan dengan tumbuhnya bangsa Indonesia. Secara geografis posisi Indonesia yang diapit oleh dua benua dan dua samudera menjadi suatu mozaik yang utuh apabila diberi kerangka konsepsi Wawasan Nusantara.

Pada masa dasawarsa 1980-an ,tidak ada yang dapat membantah kebesaran Indonesia apabila dipandang sebagai satu kesatuan dalam Wawasan Nusantara. Indonesia bukan hanya pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian ataupun Bali semata-mata. Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai arti strategis secara geopolitis baik di kawasan regional maupun internasional.

Meskipun demikian, dapat diperdebatkan bahwa kepemimpinan mantan Presiden Soeharto yang otoritarian mempunyai pengaruh besar kepada penerimaan Wawasan Nusantara sebagai alat pemersatu bangsa. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa dengan menerima konsepsi ini sebenarnya tidak mengakar kuat.

Alasannya adalah karena adanya dominasi salah satu suku terhadap suku-suku lain. Dalih persatuan dan kesatuan yang dianggap "Jawa sentris" ini akhirnya menumbuhkan api dalam sekam yang melemahkan jati diri bangsa Indonesia.

Ide "nation building" yang dicita-citakan melalui Pancasila akhirnya mengalami dekadensi nilai, seiring dengan perubahan geopolitis dan perkembangan teknologi informasi. Sehingga banyak pihak yang mengambil kesimpulan bahwa di era globalisasi sekarang ini, nilai-nilai luhur bangsa seperti Wawasan Nusantara tersebut tidak dapat membawa Indonesia keluar dari keterpurukan.

Pada awal era reformasi tahun 1998, semua pihak berlomba-lomba berbalik menyerang nilai-nilai yang ada dianggap ?“sakral?” pada masa Orde Baru. Padahal sebagian dari orang-orang tersebut adalah mereka yang paling menikmati hasil pembangunan pada Orde Baru dan bahkan pendukung kuat nilai-nilai tersebut. Akhirnya konsepsi Wawasan Nusantara pun tak luput menjadi salah satu kambing hitam kegagalan Orde Baru.
Keadaan ini dilukiskan oleh filsuf Thoreau yaitu ketika ada sekelompok orang-orang di saat Revolusi Amerika, yang seraya mencela tindakan dan kebijakan pemerintah terdahulu, telah mengambil keuntungan dari keadaan tersebut untuk lepas dari dosa masa lalunya. (Downs, Robert B, 1970)

3. Globalisasi dan Dis-orientasi Bangsa Indonesia

Runtuhnya Uni Sovyet dan negara sosialis lainnya membawa perubahan drastis dalam tatanan politik. Perang dingin yang ditandai dengan persaingan blok Barat-Timur berganti dengan menguatnya hegemoni Amerika Serikat dengan tindakan unilateralisme.

Kondisi global ini mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan di Indonesia. Setelah proses reformasi yang dimulai tahun 1998, peran blok netral melalui politik luar negeri yang bebas dan aktif kehilangan perspektif. Disisi lain ancaman komunisme tidak dapat lagi dijadikan tameng untuk mempertahankan status quo bagi rejim lama yang ingin berkuasa selama mungkin.

Ancaman komunisme tidak lagi menjadi momok yang dapat dijual untuk menindas lawan politik. Dengan sendirinya ide demokrasi Pancasila dengan kelima silanya tidak lagi dihadapkan dengan ideologi komunisme tetapi sudah berhadapan langsung dengan ide demokrasi itu sendiri.

Globalisasi yang ditandai dengan kemudahan memperoleh informasi global secara real time membuat jargon "demokrasi Pancasila" menjadi kehilangan pamor apabila disandingkan dengan demokrasi gaya "Barat" (liberalisme) yang dipahami sebagai nilai demokrasi yang universal termasuk oleh negara-negara yang dulunya disebut negara komunis.

Rejim Soeharto yang berdalih bahwa demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang khas Indonesia menjadi kehilangan legitimasinya. Rakyat tidak mungkin lagi disodori ide demokrasi yang "unik" tetapi kenyataaannya dirancang hanya untuk melegitimasi suatu rejim. Rakyat ingin demokrasi di negara-negara bekas komunis seperti yang digambarkan oleh berbagai mass media.

Yang terjadi adalah kebebasan yang mengalir deras bagaikan air bah yang cenderung menjadi euphoria. Euphoria yang berkembang mengatakan bahwa demokrasi adalah kebebasan. Ini menjadi mantera sakti yang didengungkan dan dipahami masyarakat awam. Atas nama keinginan publik, entah publik yang mana, seringkali menjadi resep sakti untuk bertindak anarkis.

Ibarat kuda yang keluar dari kandang dan dikendalikan oleh penunggang yang memang belum pernah naik kuda. Suatu paduan yang sangat berbahaya, penuh kekuatan tapi tidak terkendali. Membabi buta menuntut kebebasan dari pemerintah. Bebas tanpa peraturan. Aturan adalah kebebasan.

Apapun yang terlihat sebagai perwujudan dari kebebasan dijadikan orientasi untuk menggambarkan demokrasi. Ungkapan "sekarang ini zaman demokrasi bung!" adalah makanan sehari-hari.

Tidak sulit untuk menunjukkan bukti bahwa kebebasan dengan kepentingan yang beraneka ragam itu saling berbenturan dan memakan korban. Ditambah dengan intrik-intrik yang dipelopori oleh petualang politik, maka harga demokrasi menjadi suatu hadiah yang teramat mahal untuk sebuah kebebasan.

Lambat laun, bangsa Indonesia semakin kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beradab. Keramahtamahan yang menjadi ciri kepribadian yang khas Indonesia tidak lagi bias dibanggakan.

Fenomena ini mengarah kepada menguatnya kepentingan kelompok diatas kepentingan bangsa. Kelompok kelompok masyarakat mulai dari rakyat biasa, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, kelompok agama, golongan dan lain sebagainya terbiasa dan cenderung berfikir untuk kelompok atau golongannya tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih besar.

Lebih jauh lagi, sudah sulit menemukan pemimpin yang berpandangan sebagai negarawan. Kita sudah lupa bahwa bangsa Indonesia itu adalah negara kesatuan yang mempunyai falsafah Pancasila.

Seiring dengan kondisi politik global, isu terorisme menjadi salah satu masalah besar yang menambah buruknya citra Indonesia dan yang pasti mengganggu stabilitas keamanan dan perekonomian Indonesia.

Yang lebih memprihatinkan, sehubungan dengan isu terorisme, sejak beberapa tahun belakangan ini, rasa saling mencurigai diantara sesama komponen masyarakat semakin meningkat. Pemerintah dihadapkan kepada keadaan yang dilematis. Akhirnya upaya untuk meminimalisir aksi terorisme ini dilakukan dengan hati-hati karena akar permasalahannya begitu kompleks dan sensitif.

Hasil amandemen UUD 1945 yang tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan yang berlandaskan Pancasila tampaknya masih perlu dijabarkan dalam tatanan praktis kehidupan masyarakat. Masih ada kelompok masyarakat yang menganut pandangan yang berbeda dengan falsafah Negara. Mereka berpandangan bahwa jati diri Indonesia bukan negara kesatuan dan bukan negara yang berlandaskan Pancasila.

Perbedaan yang mendasar ini apabila tidak dapat diakomodasikan membuat ancaman disintegrasi bukan suatu ilusi belaka. Keadaan bangsa Indonesia sekarang ini seperti kehilangan orientasi. Reformasi 1998 dapat dipandang sebagai tsunami politik yang membawa duka sekaligus harapan akan berubahnya masa depan bangsa.

Paska masa transisi selama lebih kurang delapan tahun merupakan saatnya untuk belajar dari kegagalan dalam penanganan krisis. Saatnya kita duduk tenang dan bersama-sama merumuskan kembali jati diri bangsa Indonesia.

4. Revitalisasi Wawasan Nusantara

Sebagai suatu nilai dasar, sebagaimana dikatakan oleh pakar ketahanan nasional, Sayidiman Suryohadiprojo, Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia terhadap eksistensi dirinya di tengah-tengah masyarakat internasional.

Secara prinsip, Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan Pancasila. Sedangkan keanekaragaman ras, suku, agama, dan bahasa daerah merupakan khasanah budaya yang dapat menjadi unsur pemersatu bangsa.

Posisi strategis Indonesia dan kekayaan alam tidak hanya kiasan yang semu tetapi suatu modal untuk memotivasi bangsa untuk bangkit kembali. Kita harus belajar dari pengalaman masa lalu, jangan terbuai dengan kekayaan alam semata tetapi perlu mengkombinasikan kekayaan alam dengan etos kerja keras.

Pemahaman ini membawa konsekuensi bahwa pembangunan dan kerjasama internasional yang dijalin perlu dilihat secara komprehensif dari berbagai aspek terkait (poleksosbud-hankam). Jadi tidak semata-mata penekanan kepada pertimbangan ekonomis.

Sebenarnya modal politik untuk merevitalisasi Wawasan Nusantara telah dirintis oleh pemerintah sebelumnya. Namun pengakuan internasional terhadap status Indonesia sebagai negara kepulauan ini perlu disikapi bukan sebagai pencapaian puncak perjuangan, melainkan lebih sebagai point of departure untuk memaksimalkan potensi kelautan.

Pemahaman ini membawa implikasi diperlukannya perumusan kebijakan kelautan nasional secara terpadu sebagai penjabaran lebih lanjut dari konsepsi kewilayahan nusantara. Dari aspek peraturan perundangan, sejauh ini telah memadai dengan adanya sejumlah peraturan perundangan-undangan nasional di bidang kelautan & perikanan.

Diantaranya UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen dan peraturan pendukungnya di bidang eksplorasi migas, UU No. 5 tahun 1985 tentang ZEE Indonesia beserta peraturan pendukungnya di bidang perikanan, serta UU No. 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia.

Disamping ketentuan perundangan-perundangan tersebut, Pemerintah pada 28 Juni 2002 secara serentak juga telah menerbitkan tiga Peraturan Pemerintah (PP), masing-masing tentang hak lintas damai (PP No. 36 Tahun 2002), hak alur laut kepulauan Indonesia - disingkat sebagai ALKI (PP No. 37 Tahun 2002) serta penentuan daftar koordinat geografis titik-titik terluar nusantara (PP No. 38 tahun 2002).
Peraturan perundangan terakhir ini bahkan memiliki arti yang penting karena memperkuat konsepsi kewilayahan sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan (Indonesia).

4.1 Pasal 25 UUD 1945

Secara konstitusi, legitimasi untuk merevitalisasi wawasan nusantara dapat dirujuk pada . UUD 1945. Ketentuan BAB IX A tentang Wilayah Negara. Walaupun hanya terdiri dari satu pasal saja, yakni pasal 25A merupakan blessing in disgue dari amandemen UUD 1945. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal yang merupakan hasil amanden kedua pada tahun 2000 tersebut merupakan landasan yuridis untuk revitalisasi Wawasan Nusantara. Pada UUD 1945 sebelum amandemen, masalah wilayah negara Indonesia tidakk dicantumkan. Jadi pasal 25A ini mempunyai arti dan makna politis serta strategis sebagai unsur pemersatu bangsa.

4.2. Kebijakan kelautan di bidang pertahanan dan ekonomi

Secara politis, pemilihan seorang Jenderal dari Angkatan Laut, Freddy Numbery, sebagai menteri kelautan dan perikanan merupakan modal strategis untuk menyatukan visi Indonesia sebagai negara kepulauan dan bangsa pelaut.

Menurut penulis, pemilihan ini bisa jadi merupakan cerminan visi Presiden Yudoyhono dalam hal kebijakan kelautan dengan mempersatukan potensi pertahanan dan potensi ekonomi di bidang kelautan.

Potensi pertahanan dan potensi ekonomi juga disebutkan dalam doktrin Angkatan Laut RI (TNI AL) yaitu Eka Sasana Jaya. Menurut doktrin ini yang juga dianut oleh banyak Angkatan Laut di dunia, merupakan fakta sejarah bahwa kebesaran suatu bangsa atau negara maritim sangat ditentukan oleh kekuatan lautnya, berupa kekuatan armada niaganya yang mampu berlayar mengarungi samudera untuk melakukan perdagangan. Untuk menjamin keselamatan dari armada niaga, maka dibentuklah suatu kekuatan armada bersenjata yaitu Angkatan Laut. Berdasarkan fakta sejarah tersebut, maka kehadiran angkatan laut untuk memberikan jaminan keamanan di laut, sudah merupakan suatu conditiosinequanon. (http://www.tnial.mil.id/doktrin.php)

Namun dalam konteks revitalisasi Wawasan Nusantara, implementasi dari visi kabinet tersebut masih perlu disinergikan dengan berbagai sektor dan kebijakan lainnya.

Antara lain buku tentang kebijakan (white paper) Pertahanan RI yang berjudul "Mempertahankan Tanah Air" (Dephankam, 2003) tidak mampu menggambarkan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai konsepsi yang outward looking.

Buku putih tersebut masih mengedepankan orientasi pertahanan yang bertumpu aspek darat. Seyogyanya Indonesia sebagai sebuah negara yang mempunyai konsep pertahanan yang bertumpu pada pertahanan berjenjang, mengembangkan basis perairan serta dengan pulau-pulau yang bertebaran. (Pertahanan Nusantara).

Hal ini sepertinya mengingkari kenyataan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state). Mempertahankan negara kepulauan lebih logis bila bertitik tumpu pada Angkatan Laut yang didukung oleh Angkatan Udara dalam kerangka pertahanan terluar (zona penyangga). Sementara lini Darat siap menggelar kekuatannya bilamana perang merambah pada zona pertahanan dan perlawanan daratan.

Indonesia perlu memiliki untuk gertak (deterrence) di laut maupun di udara. Upaya mempertahankan Nusantara dengan tidak mengedapankan peran Angkatan Laut khususnya merupakan strategi yang kurang tepat. Indonesia adalah sebuah negara yang unik di mana memiliki wilayah perairan yang lebih luas dari daratan. Oleh karena itu, sistem pertahanan Nusantara harus menekankan pada kekuatan maritim dan kekuatan dirgantara tanpa mengabaikan kekuatan sistem pulau besar (continental).

Tidak tepat bila upaya mempertahankan Nusantara memfokuskan penggunaan strategi pertahanan kontinental ketimbang penggunaan kekuatan maritim dan dirgantara.

Karena itu, konsistensi pertahanan Indonesia ke depan harus jelas sesuai predikat Indonesia sebagai "Negara Kepulauan" yang diakui dunia internasional. Dengan demikian modal sebagai Negara kepulauan seyogyanya perlu segera diberdayakan untuk kepentingan nasional seperti mencegah terulangnya kekalahan Indonesia dalam memperebutkan Pulau Sipadan Ligitan dengan Malaysia.

Berkaitan dengan sengketa Ambalat, kekhawatiran hilangnya kembali pulau ini perlu diwaspadai. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa aroma politis dari kasus Ambalat cukup berdampak untuk menaikkan popularitas pemerintahan SBY pada awal pemerintahannya.

Demikian pula sinyalemen tenggelamnya pulau Nipah sebagai pulau batas Indonesia dengan Singapura akibat penggerukan pasir oleh pengusaha Singapura dapat ditanggulangi sejak dini.

Kembali kepada pengembangan potensi kelautan, masalah ini merupakan isu yang sangat berkaitan dengan revitalisasi Wawasan Nusantara. Pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid menunjukan keseriusan pemerintah untuk memberdayakan potensi kelautan sebagai ujung tombak pengembangan ekonomi kerakyatan.

Dengan demikian yang diperlukan untuk mensinerjikannya konsep negara kepulauan dan sektor kelautan adalah sosialisasi dan itikad baik (political will) dari aparat pemerintah yang terkait dengan pengembangan sektor ini.

Mulai dari departemen perhubungan, departemen kelautan dan perikanan, departemen perdagangan, aparat perpajakan, imigrasi dan bea cukai dan tentunya Angkatan laut perlu mencari cara komprehensif dan terfokus untuk mensinergikan potensi kelautan.

Sejauh ini tampaknya pemerintah belum yakin bahwa sektor ini dapat dijadikan salah satu alternatif pemecahan persoalan ekonomi dan sosial. Sudah begitu banyak konsep yang telah dirintis oleh mantan menteri Rokhmin Damanhuri yang belum diimplementasikan secara menyeluruh.

Dari sudut pandang Wawasan Nusantara , paling tidak ada dua keuntungan yang dapat diambil dengan memberdayakan sektor ini.
Pertama: pengembangan nelayan dan intensfikasi pelabuhan membuka pasar untuk produk perikanan yang menjadi basis ekonomi kerakyatan non pertanian.
Kedua: interaksi kelompok masyarakat yang berbasis pelabuhan seperti interaksi nelayan dari berbagai suku di Indonesia akan membawa dampak sosial yang besar. Komunikasi ini akan menumbuhkan pemahaman baru dalam mensikapi perbedaan dan pada akhirnya menumbuhkan wawasan kebangsaan.

Secara tidak langsung pengembangan potensi kelautan akan memberdayakan pulau-pulau di perbatasan dan menyeimbangkan wilayah perbatasan kita yang terisolasi dengan wilayah tetangga. Memajukan wilayah perbatasan yang terpencil ini penting untuk menghindari jurang ekonomi di wilayah perbatasan kita dengan tetangga.

4.3 "Indonesia Society" dan "Indonesia Corporation" bukan suatu ilusi

Di era globalisasi masalah dis-orientasi bangsa Indonesia menjadi isu krusial yang harus dicari jalan keluarnya. Masyarakat Indonesia baru yang modern perlu digagas dalam kerangka bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural yang terdiri dari bebagai macam suku bangsa, bahasa dan agama serta kepercayaan dan keyakinan yang beragam.

Menerapkan suatu keinginan kelompok saja sama artinya dengan meniadakan keberadaan kelompok lain yang sama-sama bersepakat membentuk Indonesia sebagai suatu negara dan bangsa. Ini adalah kenyataan yang harus disikapi secara dewasa dan bijak.

Lalu adakah harapan untuk membangun suatu masyarakat sosial Indonesia baru? Seperti apakah yang disebut masyarakat sosial Indonesia (Indonesia society)? Mulai dari manakah kita membangunnya kembali. Sungguh suatu pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab dan tidak mudah untuk disepakati.

Untuk itu mari kita belajar dari pengalaman Jepang dalam membangun masyarakatnya. Seni untuk menerima pengaruh asing serta menyaringnya untuk diadopsi dengan budaya lokal merupakan keterampilan yang sangat diperlukan. Jepang mempunyai pengalaman dan kemampuan yang unik dalam melakukan hal ini. Akulturasi budaya asing kedalam kebudayaan Jepang dilakukan tanpa menghilangkan budaya Jepang. (Daniel Sosnoski, 1996).

Hal ini digambarkan oleh Gregory Clark sebagai suatu keunikan yang didapat dari kemampuan dalam menyerap budaya Cina dan kemudian budaya Barat tanpa diperbudak atau didominasi oleh budaya-budaya tersebut. (Jane Withey, 1994).

Dari aspek ekonomi, ide untuk membentuk suatu kelompok/entitas yang bernama "Indonesia Corporation" yang pernah dilontarkan oleh beberapa pakar ekonomi pada masa lalu, mungkin bisa diangkat kembali. Strategi Jepang yang berhasil mensirnegikan pengusaha dengan nilai-nilai kebangsaannya merupakan contoh yang patut ditiru.

Sebagaimana diketahui, Jepang dalam membangun ekonominya setelah Perang Dunia ke-II dengan kebijakan ekonomi yang dilandasi budaya Jepang. Bahkan pemerintah Jepang secara sistematis membina kelompok perusahaan (zaibatsu) sebagai mesin uang yang akan menghidupi negaranya. Dikatakan bahwa zaibatsu merupakan hal utama dalam membangun perekonomian modern Jepang. (Hidemasa Morikawa, 1992).

Filosofi yang diterapkan sangat sederhana yaitu kesadaran bahwa pertumbuhan ekonomi atau penghasilan yang nyata (real income) hanya dapat meningkat jika terjadi peningkatan produktivitas. Produktivitas meningkat apabila ada peningkatan dalam nilai dari keluaran (output) dari setiap input buruh/pekerja dan modal. (James C. Abegglen & George stalk, Jr, 1990). Nilai-nilai semangat militer untuk bekerja keras dan disiplin ditransformasikan menjadi nilai dasar setiap orang Jepang dalam bekerja. Sehingga sekarang kita mengenal bangsa Jepang sebagai bangsa pekerja keras.

Dari segi doktrin, konsep wawasan Nusantara bukanlah penyeragaman atau politik melting pot. Ini adalah konsep membangun berdasarkan identitas Indonesia yang majemuk. Persaingan antar bangsa saat ini sudah sangat kompleks. Kita membutuhkan konsep yang mensinerjikan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Ini merupakan strategi untuk mensiasati perubahan global yang sangat dinamis. Produktivitas sudah menjadi standar internasional yang identik dengan produk barang atau jasa itu sendiri. Kita rindu akan adanya Indonesia Corporation yang menghasilkan produk andalan yang menjadi trade mark dan jati diri bangsa.

Seperti pengalaman Jepang, dengan dukungan Indonesia Corporation maka masyarakat Indonesia yang sejahtera yang bebas dari rasa saling curiga, diskriminasi dan korban adu domba dapat terwujud.

5. Kesimpulan

Reformasi dalam kehidupan berbangsa di Indonesia memasuki tahap metafomorfosa. Apabila tahun 1998 dikatakan sebagai masa terbentuknya embrio reformasi, maka sejak pemerintahan baru tahun 2004 merupakan titik awal kepompong demokrasi.

Setelah mengalami masa euphoria demokrasi dengan berbagai macam suka dan dukanya, maka sudah saatnya kita duduk bersama merenungkan dan mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa masa lalu.

Ada dua hal yang penting untuk didiskusikan lebih lanjut yaitu:
1. Demokrasi pada dasarnya bukanlah kebebasan semata-mata. Demokrasi adalah suatu norma yang dilandasi oleh hukum. Hukum yang dibuat, disetujui dan ditaati oleh semua komponen bangsa tanpa kecuali. Semua sama di mata hukum. Tidak ada seorangpun yang kebal terhadap hukum. Hukum memberikan roh kepada demokrasi karena dengan hukum setiap hak seseorang akan berhenti pada saat berhadapan dengan hak orang lain. Demokrasi juga memberikan kewajiban yang menjadi prasyarat suatu tatatan sosial. Dialektika hukum menjadi norma dasar suatu demokrasi.
2. Wawasan Nusantara adalah suatu nilai luhur bangsa yang dapat mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk. Revitalisasi Wawasan Nusantara bisa menjadi visi dan nilai bersama bangsa Indonesiayang dapat diterima oleh semua golongan dan kepentingan. Apabila diterjemahkan dalam misi maka salah satu misi pokok yang diproritaskan adalah pengembangan sektor kelautan. Sebagai negara kepulauan maka pengembangan sektor kelautan akan menjadi ciri khas Indonesia.
Akhir kata, demokrasi sebagai suatu resep generik penyakit masyarakat modern pasti mengalami masa transisi. Pengobatan penyakit bangsa memang harus dilakukan secara bertahap namun terarah.

Kita perlu memahami dan mencoba percaya bahwa kebijakan pemerintah yang pahit bagi masyarakat (seperti mengurangi subsidi) merupakan obat yang tidak hanya bersifat suportif maupun simptomatis tetapi menjadi pengobatan yang bersifat kausatif. Hanya dengan sikap mental seperti itu bangsa Indonesia dapat mulai melangkah dan bekerja keras membangun untuk menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera.

Jalesveva jaya mahe . Di laut kita jaya.
Semoga!.

6. Daftar Pustaka
1.     Abegglen, James C and George Stalk, Jr., Kaisha The Japanese Corporation, 1990, Charles E. Tuttle Company, Tokyo.
2.     Brownlie, Ian, Principkle of public international law, Clarendon Press, Oxford, 1995.
3.     Down, Robert B, Books That Changed America, 1970, The Macmillan Company, London.
4.     Morikawa, Hidemasa, Zaibatsu: The rise and fall of familiy enterprise groups in Japan, University of Tokyo Press,   1992.
5.     Sosnoski, Daniel, Introduction to Japanese Culture, 1996, Charles E. Tuttle Company, Tokyo.
6.     Weiner, Myron, ed. Modernization The Dynamics of Growth, Basic Books, Inc, New York, 1966
7.     Withey, Jane, Doing Business in Japan: an insider`s guide, Pretince Hall, 1994.
8.     United Nation Convention on Law of the Sea, 1982, UN Secretariat.
9.     Undang-Undang Dasar tahun 1945 amandemen 2002. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar